Rabu, 13 Februari 2019

Faktor-Faktor Yang Menghipnotis Prestasi Belajar


1.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Menurut Roestiyah NK dalam bukunya "Masalah-masalah Ilmu Keguruan", faktor-faktor yang menghipnotis prestasi berguru siswa dibagi menjadi dua yaitu:
a.      Faktor Internal
      Faktor internal ialah faktor yang timbul dari dalam diri anak sendiri.[1] Faktor internal ini mencakup dua aspek yaitu aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan aspek psikologis (yang bersifat rohaniah).
(a)    Aspek fisiologis
            Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, sanggup menghipnotis semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi kalau disertai pusing-pusing kepala sanggup menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga meteri yang dipelajarinyapun kurang atau tidak berbekas.
            Kondisi organ-organ khusus siswa, ibarat tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat menghipnotis kemampuan siswa dalam menyerap warta dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas.
            Untuk mengetahui kemungkinan timbulnya kasus mata dan pendengaran di atas, guru seyogyanya berafiliasi dengan pihak sekolah untuk memperoleh menolongan investigasi rutin (periodik) dari dinas-dinas kesehatan setempat. Kiat lain yang tak kalah penting untuk mengatasi kekurangsempurnaan pendengaran dan penglihatan siswa-siswa tertentu itu ialah dengan menempatkan mereka di formasi dingklik terdepan secara bijaksana. Artinya, kita tidak perlu menunjukkan perilaku dan alasan (apalagi di depan umum) bahwa mereka ditempatkan di depan kelas lantaran mata atau pendengaran mereka kurang baik.
(b)   Aspek psikologis
      Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang sanggup mempengeruhi kuantitas dan kualitas pembelajaran siswa diantaranya ialah:
1.      Intelegensi Siswa
            Intelegensi pada umumnya sanggup diartikan sebagai kemampuan psikofisik untuk mereaksi rangsangan atau mengikuti keadaan dengan lingkungan dengan cara yang tepat.[2]
            Sedangkan Bimo Walgito mendefinisikan intelegensi dengan daya mengikuti keadaan dengan keadaan gres dengan mempergunakan alat-alat berfikir berdasarkan tujuannya.[3]
            Setiap individu mempunyai intelegensi yang tidak sama-beda, maka individu yang satu dengan individu yang lain tidak sama kemampuannya dalam memecahkan suatu duduk masalah yang dihadapi.
Ada dua pandangan terkena perbedaan intelegensi yaitu pandangan yang menekankan pada perbedaan kualitatif dan pandangan yang menekankan pada perbedaan kuantitatif. Pandangan yang pertama beropini bahwa perbedaan intelegensi satu dengan yang lainnya memang secara kualitatif tidak sama, sedangkan pandangan yang kedua beropini bahwa perbedaan intelegensi satu dengan yang lainnya disebabkan semata-mata lantaran perbedaan materi yang diterima atau proses belajarnya.[4]

            Tingkat kecerdasan atau intelegensi (IQ) siswa tak sanggup diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan berguru siswa. Ini berarti, bahwa semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi siswa maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses.
            Selanjutnya diantara siswa yang lebih banyak didominasi diberintelegensi normal itu mungkin terdapat satu atau dua orang yang tergolong gifted child atau talented child, yaitu anak yang sangat cerdas dan anak yang sangat berbakat (IQ 140 ke atas). Di samping itu mungkin ada pula siswa yang berkecerdasan di bawah batas rata-rata (IQ 70 ke bawah).
            Setiap guru hendaknya menyadari bahwa keluarbiasaaan intelegensi siswa, baik yang positif ibarat superior maupun yang negatif ibarat borderline, lazimnya menjadikan kesusahan berguru siswa yang bersangkutan. Di satu sisi, siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah lantaran pelajaran yang disajikan terlampau simpel baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan putus asa lantaran tuntutan kebutuhan keingintahuannya merasa dibendung secara tidak adil. Di sisi lain, siswa kurang berakal sekali akan merasa sangat kesusahan mengikuti sajian pelajaran lantaran terlalu sukar baginya. Karena siswa itu sangat tertekan dan akhirnya merasa bosan dan frustasi.
            Untuk menolong siswa yang berbakat, sebaiknya kita menaikkan kelasnya setingkat lebih tinggi dari kelasnya sekarang. Kelak apabila ternyata di kelas barunya beliau masih merasa terlalu simpel juga, siswa tersebut sanggup dinaikkan setingkat lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya, hingga beliau mendapatkan kelas yang tingkat kesusahan mata pelajarannya sesuai dengan tingkat intelegensinya. Apabila cara tersebut susah ditempuh, alternatif lain sanggup diambil, contohnya dengan cara menyerahkan siswa tersebut kepada forum pendidikan khusus untuk para siswa berbakat.
            Sementara itu, untuk menolong siswa yang berkecerdasan di bawah normal, tidak sanggup dilakukan sebaliknya, yaitu dengan menurunkannya ke kelas yang lebih rendah. Sebab, cara penurunan kelas ibarat ini sanggup menjadikan kasus gres yang bersifat psikososial yang tidak spesialuntuk mengganggu dirinya saja, tetapi juga mengganggu "adik-adik" barunya.
            Oleh lantaran itu, tindakan yang dianggap lebih bijaksana ialah dengan cara memindahkan siswa penyandang intelegensi rendah tersebut ke forum pendidikan khusus untuk belum dewasa penyandang "kemalangan" IQ.

2.      Bakat
            Pengertian talenta berdasarkan para hebat adalah:
1.      Kemampuan untuk belajar.[5]
2.      Gejala kondisi kemampuan seseorang yang relatif sifatnya, yang salah satu aspeknya yang penting ialah kesiapannya untuk memperoleh kecakapan-kecakapannya yang potensial sedangkan aspek lainnya ialah kesiapannya untuk membuatkan minat dengan memakai kecakapan tersebut.[6]

            Bakat sanggup menghipnotis tinggi rendahnya prestasi berguru siswa. Oleh karenanya ialah hal yang tidak bijaksana apabila orang renta memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih lampau talenta yang dimiliki anaknya itu.
            Pemaksaan kehendak terhadap seorang siswa dan juga ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga ia menentukan jurusan keahlian tertentu yang sebetulnya bukan bakatnya akan kuat buruk terhadap kinerja akademik atau prestasi belajarnya.
Adakalanya seseorang mempunyai talenta yang terpendam. Untuk mengetahui talenta yang terpendam ini sanggup dilakukan majemuk test antara lain: test ketajaman indera, test kecepatan gerak, test kekuatan dan koordinasi, test temperamen dan karakter, dan test kebijaksanaan sehat dan kemampuan belajar.[7]







3.      Minat Siswa
            Minat sanggup menghipnotis kualitas pencapaian hasil berguru siswa dalam bidang-bidang studi tertentu, misalnya: seseorang yang menaruh minat besar terhadap matematika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya.
            Kemudian, lantaran pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk berguru lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan.
4.      Sikap Siswa
            L. Crow dan A. Crow mengartikan perilaku dengan ketepatan hati atau kecenderungan (kesiapan, kehendak hati, tendensi) untuk bertindak terhadap obyek berdasarkan karakteristiknya sepanjang yang kita kenal.[8]
            Sikap siswa yang positif terutama kepada guru dan mata pelajarannya ialah menunjukan pertama yang baik bagi proses berguru siswa tersebut. Sebaliknya, perilaku negatif siswa terhadap guru dan mata pelajarannya, apalagi kalau diiringi dengan kebencian kepada guru tersebut, sanggup menjadikan kesusahan berguru siswa tersebut.
            Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya perilaku negatif ibarat di atas, guru dituntut tidak spesialuntuk menguasai bahan-bahan yang terdapat dalam bidang studi-studinya tetapi juga harus bisa meyakinkan kepada para siswa akan manfaat bidang studi itu bagi kehidupan mereka. melaluiataubersamaini meyakini manfaat bidang studi tertentu, siswa akan merasa membutuhkannya dan dari perasaan butuh inilah diperlukan muncul perilaku positif terhadap bidang studi tersebut dan sekaligus terhadap guru yang mengajarkannya.
5.      Motivasi
            Adapun terkena motivasi sudah penulis jelaskan di atas.
b.      Faktor Eksternal
            Faktor eksternal ialah faktor yang hadir dari luar diri anak didik.[9]
            Faktor eksternal yang menghipnotis prestasi berguru siswa dikelompokkan menjadi 3 faktor yaitu: faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat,
1.      Faktor keluarga
            Pengertian keluarga berdasarkan para hebat adalah:
a.       Suatu kesatuan sosial terkecil yang dipunyai oleh insan sebagai makhluk socia.[10]
b.      Unit satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus ialah kelompok terkecil dalam masyarakat.[11]
            Keluarga akan mempersembahkan dampak kepada siswa yang berguru berupa: cara orang renta mendidik, kekerabatan antar anggota keluarga, suasana rumah tangga, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang renta dan latar belakang kebudayaan.



1.      Teknik orang renta mendidik
            Orang renta ialah sumber pembentukan kepribadian anak, lantaran anak mulai mengenal pendidikan yang pertama kali ialah pendidikan keluarga oleh orang tuanya. Dalam sebuah hadist diterangkan bahwa:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : مَا مِنْ مَوْ لُوْدٍ اِلآَ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ. فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ اَوْ يُنَصِّرَا نِهِ اَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَا تُنْتَجُ الْبَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya: "Dari Abu Hurairah r.a : Nabi SAW bersabda : tiada bayi yang dilahirkan melainkan lahir di atas fitrah, maka ayah bundanya yang mendidiknya menjadi yahudi, nasrani atau majusi sebagaimana lahirnya hewan yang lengkap sempurna".[12]

            Teknik orang renta mendidik anaknya, contohnya mereka hirau tak hirau terhadap berguru anaknya, tidak memperhatikan sama sekali akan kepentingan-kepentingan dan keperluan-keperluan anaknya dalam belajar, tidak mengatur waktu belajarnya, tidak memperhatikan apakah anak berguru atau tidak, tidak mau tahu bagaimanakah kemajuan berguru anaknya, kesusahan-kesusahan yang dialami dalam berguru dan lain sebagainya, sanggup menimbulkan anak tidak atau kurang berhasil dalam belajarnya. Mungkin anak sendiri pandai, tetapi lantaran cara belajarnya tidak teratur, akhirnya kesukaran-kesukaran menumpuk sehingga mengalami kegagalan dalam belajarnya dan akhirnya anak malas belajar. Hasil yang didapatkan, nilai/hasil belajarnya tidak memuaskan bahkan mungkin gagal dalam studinya. Hal ini sanggup terjadi pada anak dari keluarga yang kedua orang tuanya terlalu sibuk mengurusi pekerjaan atau kedua orang renta yang memang tidak menyayangi anaknya.
            Mendidik anak dengan cara memanjakan ialah cara mendidik yang tidak baik. Orang renta yang terlalu kasihan terhadap anaknya tak hingga hati untuk memaksa anaknya belajar. Bahkan membiarkannya saja kalau anaknya tidak berguru dengan alasan segan, ialah tidak benar, lantaran kalau hal ini dibiarkan berlarut-larut anak menjadi badung, berbuat seenaknya saja, pastilah belajarnya menjadi kacau. Mendidik anak dengan cara memperlakukan terlalu keras, memaksa dan mengejar-ngejar anaknya untuk belajar, ialah cara mendidik yang juga salah. melaluiataubersamaini demikian anak tersebut diliputi ketakutan dan akhirnya benci terhadap belajar, bahkan kalau ketakutan itu semakin fokus anak akan mengalami gangguan kejiwaan akhir tekanan-tekanan tersebut. Orang renta yang demikian biasaanya menginginkan anaknya mencapai prestasi yang sangat baik, atau mereka mengetahui bahwa anaknya kurang berakal tetapi tidak tahu apa yang menimbulkan sehingga anak dikejar-kejar untuk mengatasi/mengejar belum sempurnanyanya.
2.      Relasi antar anggota keluarga
            Relasi antar anggota keluarga yang terpenting ialah kekerabatan orang renta dengan anaknya. Selain itu kekerabatan anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga lainpun turut menghipnotis berguru anak. Wujud kekerabatan ini contohnya apakah korelasi itu penuh dengan kasih akung dan pengertian, ataukah diliputi oleh kebencian, perilaku yang terlalu keras, ataukan perilaku yang hirau tak hirau dan sebagainya.
            Begitu juga kekerabatan anak dengan saudaranya atau dengan anggota keluarga yang lain tidak baik, akan sanggup menjadikan problem yang sejenis.
            Demi kelancaran berguru serta keberhasilan anak, perlu diusahakan kekerabatan yang baik di dalam keluarga anak tersebut. Hubungan yang baik ialah korelasi yang penuh pengertian dan kasih akung, disertai dengan bimbingan dan bila perlu hukuman-hukuman untuk menyukseskan berguru anak sendiri.
3.      Suasana rumah tangga
            Suasana rumah dimaksudkan sebagai situasi-situasi atau kejadian-kejadian yang sering terjadi di dalam keluarga di mana anak berada dan belajar.[13]
            Suasana rumah juga ialah faktor yang penting yang tidak termasuk faktor yang disengaja. Suasana rumah yang gaduh/ramai dan semrawut tidak akan memdiberi ketenangan kepada anak yang belajar. Suasana tersebut sanggup terjadi pada keluarga yang besar dan terlalu banyak penghuninya. Suasana rumah yang tegang, ribut dan sering terjadi cekcok, pertengkaran antar anggota keluarga atau dengan keluarga lainnya menimbulkan anak menjadi bosan di rumah, kesudahannya belajarnya menjadi kacau.
            Rumah yang sering digunakan untuk keperluan-keperluan, contohnya untuk resepsi, pertemuan, pesta-pesta, program keluarga dan lain-lain, sanggup mengganggu berguru anak. Rumah yang bising dengan bunyi radio, tape rbuntutder atau TV pada waktu belajar, juga mengganggu berguru anak, terutama untuk berserius.
            Selanjutnya semoga anak sanggup berguru dengan baik perlu diciptakan suasana rumah yang hening dan tenteram, lantaran selain anak kerasan/betah tinggal di rumah, anak juga sanggup berguru dengan baik.
4.      Keadaan ekonomi keluarga
            Keadaan ekonomi keluarga sangat erat hubungannya dengan berguru anak. Anak yang sedang berguru selain harus terpenuhi kebutuhan pokoknya, misalnya: makan, pakaian, perlindungan, kesehatan dan lain-lainnya, juga membutuhkan akomodasi berguru ibarat ruang belajar, meja, kursi, penerangan, alat tulis-menulis, buku-buku dan lain sebagainya. Fasilitas berguru itu spesialuntuk sanggup terpenuhi kalau keluarga mempunyai cukup uang.
            Jika anak hidup dalam keluarga yang miskin, kebutuhan pokok anak kurang terpenuhi, kesudahannya kesehatan anak terganggu. Akibat yang lain anak selalu dirundung kesedihan sehingga anak merasa minder dengan mitra lain, hal ini niscaya akan mengganggu berguru anak. Bahkan mungkin anak harus bekerja mencari nafkah untuk memmenolong orang tuanya walaupun sebetulnya anak belum saatnya untuk bekerja, hal yang ibarat ini akan mengganggu berguru anak. Walaupun tidak sanggup dipungkiri wacana adanya kemungkinan anak yang serba belum sempurnanya dan selalu menderita akhir ekonomi keluarga yang lemah, justru keadaan yang begitu menjadi cambuk baginya untuk berguru lebih ulet dan akhirnya sukses besar. Hal ini terjadi lantaran anak merasa bahwa nasibnya tidak akan berubah kalau beliau sendiri tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Ar-ra'du ayat 11:
Artinya : Bagi insan ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang sanggup menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.[14]

            Sebaliknya keluarga yang kaya raya, orang renta sering mempunyai kecenderungan untuk memanjakan anak. Anak spesialuntuk bersenang-senang dan berfoya-foya, kesudahannya anak kurang sanggup memusatkan perhatiannya kepada belajar. Hal tersebut juga sanggup mengganggu berguru anak.
5.      Pengertian orang tua
            Anak berguru perlu dorongan dan pengertian orang tua. Bila anak sedang berguru tidakboleh diganggu dengan tugas-tugas di rumah. Ketika anak mengalami lemah semangat, orang renta wajib memdiberi pengertian dan mendorongnya, memmenolong sedapat mungkin kesusahan yang dialami anak di sekolah. Kalau perlu menghubungi guru anaknya, untuk mengetahui perkembangannya.



6.      Latar belakang kebudayaan
            Tingkat pendidikan atau kebiasaaan di dalam keluarga menghipnotis perilaku anak dalam belajar. Perlu kepada anak ditanamkan kebiasaaan-kebiasaaan yang baik, semoga mendorong semangat anak untuk belajar.
2.      Faktor sekolah
            Faktor sekolah yang menghipnotis berguru ini mencakup beberapa aspek metode mengajar, kurikulum, kekerabatan guru dengan siswa, kekerabatan siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan kiprah rumah. Berikut ini akan penulis bahas faktor-faktor tersebut satu persatu.
a.        Metode Mengajar
            Metode ialah cara yang di dalam fungsinya ialah alat untuk mencapai suatu tujuan.[15]
            sepertiyang kita ketahui ada banyak sekali metode mengajar. Faktor-faktor penyebab adanya aneka macam macam metode mengajar ini adalah:
(1)   Tujuan yang tidak sama dari masing-masing mata pelajaran sesuai dengan jenis, sifat maupun isi mata pelajaran masing-masing.
(2)   Perbedaan latar belakang individual anak, baik latar belakang kehidupan, tingkat usia maupun tingkat kemampuan berfikirnya.
(3)   Perbedaan situasi dan kondisi di mana pendidikan berlangsung.
(4)   Perbedaan pribadi dan kemampuan dari pendidik masing-masing.
(5)   Karena adanya masukana/fasilitas yang tidak sama baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitas.[16]

            Metode mengajar seorang guru akan menghipnotis berguru siswa. Metode mengajar guru yang kurang baik akan menghipnotis berguru siswa menjadi tidak baik pula. Metode mengajar yang kurang baik itu sanggup terjadi lantaran guru kurang persiapan dan kurang menguasai materi pelajaran sehingga guru tersebut menerangkannya tidak jelas. Akibatnya siswa malas untuk belajar.
            Guru yang usang biasaa mengajar dengan metode ceramah saja. Siswa menjadi bosan, mengantuk, pasif dan spesialuntuk mencatat saja. Guru yang progresif berani mencoba metode-metode yang baru, yang sanggup memmenolong meningkatkan aktivitas berguru mengajar, dan meningkatkan motivasi siswa untuk belajar. Agar siswa sanggup berguru dengan baik, maka metode mengajar harus diusahakan yang setepat, seefisien, dan seefektif mungkin.
b.      Kurikulum
            Kurikulum dipandang sebagai sejumlah mata pelajaran yang tertentu yang harus ditempuh atau sejumlah pengetahuan yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkat atau ijazah.[17]
            Nana Sudjana mendefinisikan kurikulum dengan tiruana aktivitas atau tiruana pengalaman berguru yang didiberikan kepada siswa di bawah tanggung tanggapan sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan.[18]
            Kurikulum sangat menghipnotis berguru siswa. Kurikulum yang kurang baik kuat tidak baik terhadap belajar. Kurikulum yang tidak baik itu contohnya kurikulum yang terlalu padat, di atas kemampuan siswa, tidak sesuai dengan bakat, minat dan perhatian siswa. Sistem instruksional kini menghendaki proses berguru mengajar yang mementingkan kebutuhan siswa. Guru perlu mendalami siswa dengan baik, harus mempunyai perencanaan yang mendetail, semoga sanggup melayani siswa berguru secara individual.
c.       Relasi Guru dengan Siswa
            Proses berguru mengajar terjadi antara guru dengan siswa. Proses tersebut juga dipengaruhi oleh kekerabatan yang ada dalam proses itu sendiri. Makara cara berguru juga dipengaruhi oleh relasinya dengan gurunya.
            Di dalam kekerabatan (guru dengan siswa) yang baik, siswa akan menyukai mata pelajaran yang didiberikannya sehingga siswa berusaha mempelajari sebaik-baiknya. Hal tersebut juga terjadi sebaliknya, kalau siswa membenci gurunya. Ia segan mempelajari mata pelajaran yang didiberikannya, kesudahannya pelajarannya tidak maju.
            Guru yang kurang diberinteraksi dengan siswa secara akrab, menimbulkan proses berguru mengajar itu kurang lancar. Juga siswa merasa jauh dari guru, maka segan untuk berpartisipasi secara aktif dalam belajar.
d.      Relasi Siswa dengan Siswa
            Guru yang kurang mendekati siswa dan kurang bijaksana, tidak akan melihat bahwa di dalam kelas ada grup yang saling bersaing secara tidak sehat. Jiwa kelas tidak terbina, bahkan korelasi masing-masing individu tidak tampak.
            Siswa yang mempunyai sifat-sifat dan tingkah laris yang kurang sangat senang mitra lain, mempunyai rasa rendah diri atau sedang mengalami tekanan-tekanan batin, akan diasingkan dari kelompok. Akibatnya makin parah masalahnya dan akan mengganggu belajarnya. Lebih-lebih lagi ia akan menjadi malas untuk masuk sekolah dengan alasan-alasan yang tidak-tidak lantaran di sekolah mengalami perlakuan yang kurang sangat senang dari kawan-kawannya.
            Menciptakan kekerabatan yang baik antar siswa ialah perlu, semoga sanggup mempersembahkan dampak yang positif terhadap berguru siswa.
e.       Disiplin Sekolah
            Disiplin sekolah berarti adanya kesediaan untuk mematuhi peraturan-peraturan dan larangan-larangan.
            Hal-hal yang sanggup dilakukan untuk menanamkan disiplin kepada anak antara lain adalah: dengan pembiasaaan, dengan pola atau tauladan dan dengan penyadaran.
            Kedisiplinan sekolah erat hubungannya dengan kerajinan siswa dalam sekolah dan juga dalam belajar. Kedisiplinan sekolah mencakup beberapa aspek kedisiplinan guru dalam mengajar dengan melaksanakan tata tertib, kedisiplinan pegawai/karyawan dalam pekerjaan administerasi dan kemembersihkanan/keteraturan kelas, gedung sekolah, halaman dan lain-lain. Kedisiplinan kepala sekolah dalam mengelola seluruh staf beserta siswa-siswanya, dan kedisiplinan team BP dalam pelayanannya kepada siswa.
f.       Alat Pelajaran
            Alat pelajaran erat hubungannya dengan cara berguru siswa, lantaran alat pelajaran yang digunakan oleh guru pada waktu mengajar digunakan oleh siswa untuk mendapatkan materi yang diajarkan itu. Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan materi pelajaran yang didiberikan kepada siswa. Jika siswa simpel mendapatkan pelajaran dan menguasainya, maka belajarnya akan menjadi lebih ulet dan lebih maju.
            Kenyataan ketika ini dengan banyaknya jumlah siswa yang masuk sekolah, maka memerlukan alat-alat yang memmenolong lancarnya berguru siswa dalam jumlah yang besar pula, ibarat buku-buku perpustakaan, laboratorium atau media-media lain. Kebanyakan sekolah masih kurang mempunyai media dalam jumlah maupun kualitasnya.
            Mengusahakan alat pelajaran yang baik dan lengkap ialah perlu semoga guru sanggup mengajar dengan baik sehingga siswa sanggup mendapatkan pelajaran dengan baik pula.
g.      Waktu Sekolah
            Waktu sekolah ialah waktu terjadinya proses berguru mengajar di sekolah, waktu itu sanggup pagi hari, siang, sore/malam hari.[19]
            Waktu sekolah juga menghipnotis berguru siswa. Akibat meledaknya jumlah anak yang masuk sekolah, dan penambahan gedung sekolah belum seimbang dengan jumlah siswa, banyak siswa yang terpaksa masuk sekolah disore hari, hal yang sebetulnya kurang sanggup dipertanggung jawabankan. Di mana siswa harus istirahat, tetapi terpaksa masuk sekolah, sehingga mereka mendengarkan pelajaran sambil mengantuk dan lain sebagainya. Sebaliknya bagi siswa yang berguru dipagi hari, pikiran masih segar, jasmani dan rohani dalam keadaan yang baik. Jika siswa bersekolah pada waktu kondisi badannya sudah lelah, contohnya pada siang hari, akan mengalami kesusahan di dalam mendapatkan pelajaran. Kesusahan itu disebabkan lantaran siswa kurang berserius dan berpikir pada kondisi tubuh yang sudah lemah tadi. Makara menentukan waktu sekolah yang tepat akan memdiberi dampak positif terhadap belajar.
h.      Standar Pelajaran
            Guru berpendirian untuk mempertahankan wibawanya, perlu memdiberi pelajaran di atas standar kesudahannya siswa merasa kurang bisa dan takut kepada guru.
            Bila banyak siswa yang tidak berhasil dalam mempelajari mata pelajarannya, guru semacam itu merasa senang. Tetapi berdasarkan teori belajar, yang mengingat perkembangan psikis dan kepribadian siswa yang tidak sama-beda, hal tersebut dihentikan terjadi. Guru dalam menuntut penguasaan materi harus sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang penting tujuan yang sudah dirumuskan sanggup tercapai.
i.        Keadaan Gedung
            melaluiataubersamaini jumlah siswa yang luar biasaa banyaknya, keadaan gedung sampaumur ini terpaksa kurang, mereka duduk berjejal-jejal di dalam setiap kelas.
j.        Metode Belajar
            Banyak siswa melaksanakan cara berguru yang salah, dalam hal ini perlu pelatihan dari guru. melaluiataubersamaini cara berguru yang tepat akan efektif pula hasil berguru siswa itu. Juga dalam pertolongan waktu untuk belajar. Kadang-kadang siswa berguru tidak teratur, atau terus menerus, lantaran besok akan ujian. melaluiataubersamaini berguru demikian siswa akan kurang diberistirahat, bahkan mungkin jatuh sakit.
            Ada rumus yang menyatakan bahwa 5 X 2 lebih baik dari 2 X 5 artinya lima kali berguru masing-masing dua topik lebih baik hasilnya daripada dua kali berguru masing-masing lima topik.[20]
            Adanya keteraturan berguru ialah syarat utama belajar. Bukan lamanya berguru yang diutamakan tetapi kebiasaaan teratur dan rutin melaksanakan belajar. Belajar teratur selama dua jam sekalipun setiap harinya, jauh lebih penting dari berguru 6 jam namun spesialuntuk dilakukan pada hari-hari tertentu saja. Demikian pula bukan banyaknya materi yang dipelajari yang harus diutamakan, tapi seringnya mempelajari materi tersebut sekalipun materi tersebut tidak banyak.

k.      Tugas Rumah
            Waktu berguru ialah di sekolah, waktu di rumah biarlah digunakan untuk kegiatan-kegiatan lain. Maka diperlukan guru tidakboleh memdiberi kiprah yang harus dikerjakan di rumah, sehingga anak tidak mempunyai waktu lagi untuk aktivitas lainnya.
3. Faktor Masyarakat
Abu Ahmadi mendefinisikan masyarakat dengan suatu kelompok yang sudah mempunyai tatanan kehidupan, norma-norma, watak istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya.[21]
Sedangkan Wahyu mempersembahkan batasan masyarakat dengan setiap insan yang sudah hidup dan bekerja sama cukup usang sehingga mereka sanggup mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas yang dirumuskan dengan jelas.[22]
Masyarakat ialah faktor eksternal yang juga kuat terhadap berguru siswa. Yang termasuk dalam faktor masyarakat ini antara lain adalah: aktivitas siswa dalam masyarakat, mass media, mitra bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat.
a.      Kegiatan siswa dalam masyarakat
            Kegiatan siswa dalam masyarakat sanggup menguntungkan terhadap perkembangan pribadinya. Tetapi kalau siswa ambil belahan dalam aktivitas masyarakat yang terlalu banyak, contohnya berorganisasi, kegiatan-kegiatan sosial, keagamaan dan lain-lain, belajarnya akan terganggu, lebih-lebih kalau tidak bijaksana dalam mengatur waktunya.
            Perlulah kiranya membatasi aktivitas siswa dalam masyarakat supaya tidakboleh hingga mengganggu belajarnya. Jika mungkin menentukan aktivitas yang mendukung belajar. Kegiatan ini contohnya kursus bahasa Inggris, PKK remaja, kelompok diskusi dan lain sebagainya.


b.      Mass media
            Yang termasuk mass media ialah bioskop, radio, TV, surat kabar, majalah, buku-buku, komik-komik dan lain-lain. Semuanya itu ada dan beredar dalam masyarakat.
            Mass media yang baik memdiberi dampak yang baik terhadap siswa dan belajarnya. Sebaliknya mass media yang buruk juga memdiberi dampak yang buruk terhadap siswa. Sebagai contoh, siswa yang suka nonton film atau membaca cerita-cerita detektif, pergaulan bebas akan berkecenderungan untuk berbuat ibarat tokoh yang dikagumi dalam dongeng itu, lantaran dampak dari jalan ceritanya. Jika tidak ada kontrol dan pelatihan dari orang renta (bahkan pendidik), pastilah semangat belajarnya menurun bahkan mundur sama sekali.
c.      Teman bergaul
            Pengaruh-pengaruh dari mitra bergaul siswa lebih cepat masuk dalam jiwanya daripada yang kita duga. Teman bergaul yang baik akan kuat baik terhadap diri siswa, begitu juga sebaliknya, mitra bergaul yang buruk niscaya kuat buruk pula.
            Teman bergaul yang tidak baik contohnya yang suka bergadang, minum-minum dan lain sebagainya.
            Agar siswa sanggup berguru dengan baik, maka perlulah diusahakan semoga siswa mempunyai mitra bergaul yang baik-baik dan pelatihan pergaulan yang baik serta pengawasan dari orang renta dan pendidik harus cukup bijaksana.

d.     Bentuk kehidupan masyarakat
            Kehidupan masyarakat di sekitar siswa juga kuat terhadap berguru siswa. Masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka mencuri, dan mempunyai kebiasaaan yang tidak baik akan berpengruh buruk terhadap anak (siswa) yang berada di situ. Sebaliknya kalau lingkungan anak ialah orang-orang yang terpelajar baik-baik mereka mendidik dan menyekolahkan anak-anaknya, antusias akan keinginan yang luhur akan masa depannya, anak/siswa akan terpengaruh juga ke hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungannya. Pengaruh itu sanggup mendorong semangat dan motivasi anak/siswa untuk berguru lebih ulet lagi. Untuk itu perlulah mengusahakan lingkungan yang baik semoga sanggup mempersembahkan dampak yang positif terhadap anak/siswa sehingga sanggup berguru dengan sebaik-baiknya.
            Masih banyak lagi faktor-faktor lain yang sanggup kuat pada prestasi berguru seseorang. Maka kiprah orang tua, pendidik untuk memahami secara mendalam, sehingga dikemudian hari sanggup membina anak/siswanya secara individual dan efektif.

0 komentar

Posting Komentar