Jumat, 15 Februari 2019

Asas-Asas Masyarakat Madani


1.      Azas-azas Masyarakat Madani
            Wawasan kenegaraan dan kemasyarakatan madinah sangat sempurna di jadikan sebagai referensi dan rujukan dalam mewujudkan masyarakat “ideal” madani. Hal ini berangkat dari beberapa azas yang tumbuh rindang dalam masyarakat madani yang amat konteks dengan masyarakat modern.
            Dalam konteks masyarakat madani terdapat beberapa pembentukan untuk membangun masyarakat madani yang dicita-citakan.

a.       Pluralisme
Kemajemukan budaya dalam paradigma sirah Nabi Muhammad SAW. Telah membentuk suatu keharmonisan suatu masyarakat yang plural. Sebab, pluralisme saat itu tidak spesialuntuk dipahami sebatas perbedaan budaya, agama, ras, etnis, dan lain-lainnya. Lebih dalam dari itu pluralisme benar-benar menjadi suatu yang bernilai positif, sehingga muncul kesadaran hidup dengan visi kebersamaan dalam kemajemukan untuk memperjuangkan dan mempertahankan kota Madinah dan Nabi Muhammad dari banyak sekali bentuk perlawanan kaum Kafir. Azas-azas pluralisme sudah mengantarkan masyarakat Yatsrib kepada Madinah (peradaban).
Dalam tulisannya Nurkholis Madjid menyatakan “cita-cita politik kita” (1983) bahwa:
“………Rasulullah SAW. Tidak membentuk masyarakat khusus bagi kaum muslimin. Justru, yang ditangani pertama sebagai langkah politik ialah mengatur kerjasama yang baik antar banyak sekali golongan dikota itu dalam semangat kemajemukan, kehidupan antar golongan itu diatur atas dasar kepentingan bersama dan secara demokratis, sebagaimana Rasulullah SAW. Sendiri menjadi pemimpin tertinggi ialah proses yang demokratis, pluralisme madinah dibawah ini dipimpin Rasulullah SAW. dan menurut konstitusinya itu berjalan secara baik dan lancar, dengan tiap-tiap kelompok mengambil serpihan acara sesuai dengan kiprah dan kewajibannya masing-masing”.[1]

Pluralisme ialah wujud dari “ikatan keadaban” (band of civility), dalam arti masing-masing langsung atau kelompok, dalam suatu lingkungan interaksi sosial yang lebih luas, mempunyai kesedian memandang yang lain dengan penghargaan, betapapun perbedaan yang ada, tanpa saling memaksakan kehendak pendapat, atau pandangan sendiri. sepertiyang disebut dalam Al-Qur’an, Tuhan membuat prosedur pengawasan dan pengimbangan antara sesama insan guna memelihara keutuhan bumi sebagai diberikut:
ولولادفع ا لله النا س بعضهم ببعض لفسدت الأرض ولكن الله ذوفضل
على العلمين ............
Artinya: “Seandainya Allah menolak (keganasan) sebahagian insan dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia yang (dicurahkan) atas semesta alam” (Q.S. Al-Baqarah-251).[2]




b.      Toleransi
Bercermin dari kodrat insan bahwa dasar insan ialah fitrah, yakni umat yang selalu dalam kehidupan kesehariannya bersemangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa, sifat toleransi inilah yang ditanamkan semenjak lampau.
Jika ditelusuri pokok-pokok anutan Islam terkena korelasi antar manusia, walaupun tidak sama keyakinan, maka di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang mengatur korelasi antar manusia. Islam menganjurkan umatnya bersikap luwes (fleksibility). Berdada lapang, perilaku terbuka, toleransi, sehingga dijumpai kondisi sosiologis yang begitu kondusif.[3] sepertiyang disebutkan dalam Al-Qur’an

إنماالمؤمنون إخوة فأصلحوابين أخويكم واتقواالله لعلكم ترحمون.......

Artinya: “sesungguhnya tiruana orang mu’min itu ialah bersaudara”,(Al-Hujarat-10).[4]

Azas-azas inilah yang ditanamkan di dunia Pesantren, di mana suasana kehidupan santri punya ikatan “ukhuwah Islamiyah” yang kokoh. Para santri selalu disadarkan bahwa “perbedaan” (ikhtilaf) antar setiap insan atau kelompok; baik perbedaan yang bersifat “alamiyah thobi’iyah” ibarat bentuk tubuh, warna kulit, asal daerah, dan sebagaimanya. Ataupun perbedaan yang bersifat “ikhtiyariyah” (yang bersumber dari hasil perjuangan manusia) seperti, tingkat kepandaian, pengalaman, keterampilan, dan sebagainya. Adalah sunnatullah yang lazim berlaku pada setiap makhluk-Nya. Karena itu, perbedaan-perbedaan tersebut dihentikan mengakibatkan timbulnya perpecahan, perperihalan atau perselisihan yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Allah. Para santri dilatih untuk mempunyai perilaku “at-tasamuh wal-insyiroh” (toleransi dan lapang dada) dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut.[5] Begitu juga halnya dengan penghuni Pondok, antara kiyai dan santri, guru dengan santri, dan santri dengan santri. Terjalin korelasi kekeluargaan dan perteman dekatan yang tulus, tidak terpaut pada satu mitra saja akan tetapi berkawan sesama santri yang ada di lingkungan Pesantren.

0 komentar

Posting Komentar