1. Unsur-unsur Pondok Pesantren
Unsur-unsur dalam Pesantren sanggup disebut sebagai ciri-ciri yang secara umum dimiliki oleh Pondok Pesantren sebagai forum pendidikan sekaligus forum sosial yang secara informal itu terlibat dalam pengembangan masyarakat pada umumnya, Zamakhsyari Dhofir sebut lima elemen dasar dari tradisi Pondok Pesantren yang menempel atas dasar dirinya yang mencakup Pondok, Masjid, Pengajaran kitab-kitab Islam klasik, Santri, dan Kiyai.
Tapi kalau dilihat dari berdirinya Pesantren, maka kelima elemen itu urut-urutannya adalah: Kiyai, Masjid, Santri, Pondok, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Kiyai sebagai cikal-bakal berdirinya pesantren, biasanya tinggal di suatu tempat yang gres dan cukup luas. Karena terpanggil untuk berdakwah, maka beliau mendirikan Masjid yang terkadang bermula dari Mushalla atau langgar yang sederhana, jama’ah semakin banyak, dan yang bertempat tinggal jauh dari tempat pertemuan tersebut, maka para jama’ah ingin menetap bersama kiyai. Mereka inilah dan para jama’ah yang lain biasanya disebut sebagai santri. Jika mereka yang bermukim disitu jumlahnya cukup banyak, maka perlu dibangunkan Pondok atau asrama khusus sebagai tempat peristirahatan sehabis melaksanakan kegiatan, biar tidak mengganggu ketenangan Masjid dan keluarga kiyai. melaluiataubersamaini mengambil tempat di masjid, kiyai mengajar para santrinya dengan materi kitab-kitab Islam klasik.
Untuk lebih jelasnya, lima elemen tersebut hendak diuraikan sebagai diberikut:
a. Kiyai
Keberadaan seorang kiyai dalam sebuah Pesantren, yakni laksana jantung bagi kehidupan manusia. Begitu urgen dan esensialnya kedudukan seorang kiyai, lantaran dialah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin dan terkadang juga pemilik tunggal sebuah Pesantren. Pertumbuhan dan perkembangan suatu Pesantren semata-mata tergantung kepada kemampuan pribadi kiyai, alasannya yakni kiyai yakni seorang yang mahir ihwal pengetahuan Islam. Gelar atau sebutan kiyai, biasanya diperoleh seseorang berkat kedalaman ilmu keagamaannya, kesungguhan perjuangannya di tengah umat, kekhusu’annya dalam diberibadah, dan kewibaannya sebagai pemimipin. sepertiyang yang dikemukakan oleh H.A mukti Ali, semata lantaran faktor pendidikan, tidak menjadi jaminan bagi seseorang untuk memperoleh gelar sebagai seorang kiyai, melainkan faktor talenta dan seleksi alamiah yang lebih menetukannya.[1] Di jaman kini banyak juga ulama yang cukup kuat di masyarakat juga mendapat gelar “Kiyai” walaupun mereka tidak mempunyai Pesantren.
Dalam kehiudupan ditengah-tengah masyarakat luas, seorang kiyai biasanya dipandang sebagai sesepuh, figure yang dituakan, karenanya, selain ia berperan sebagai pemdiberi nasehat dalam banyak sekali aspek dan duduk kasus kehidupan, juga ada kalanya yang dikenal mempunyai keahlian untuk mempersembahkan semacam obat, jampi, dan do’a sumber daya insan bila salah anggota masyarkat mengalami musibah. Untuk menjalankan kepemimpinannya, unsur kewibawaaan memegang peranan penting . kiyai yakni seorang tokoh yang berwibawa, baik dihadapan para Ustadz, santri, bahkan sering juga dihadapan istri dan anak-anaknya, ketaatan mereka yang penuh dan nrimo kepada kiyai, bukan lantaran paksaan, tetapi didasari oleh motivasi kesopanan, mengharapkan berkah, dan tentu saja demi memenuhi pedoman Islam yang menyuruh hormat terhadap guru dan orang renta pada umumnya.
Kepemimpinan kiyai jikalau ditinjau dari pandangan mata Max Weber sanggup dimasukkan pada kategori kepemimpinan kharismatik dan kepemimpinan tradisional dimana otoritas kepemimpinan seorang kiyai sanggup terus bertahan selama masih terpelihara dan kekuasaan kharismatik dari pribadi kiyai tersebut memancar pesona (atractivenees).[2]
Kiyai dan ulama sudah memasukkakn dan mengajarkan ilmu agama di Pesantren sehabis mereka mempelajarinya di Mekkah dengan bermukim disana selama bertahun-tahun atau menerimanya dari para muballigh yang mula-mula hadir ke Indonesia . Perkembangan ilmu di Pesantren sangat tergantung kepada kealiman kiyai. Untuk menyebarkan ilmu di Pesantren, sering kiyai berusaha menambah pengetahuannya di pusat-pusat ilmu pengetahuan Islam, misalnya, Mekkah, Madinah, Kairo, dan Bagdad, atau mereka menpenghasilan di Pesantren lain yang kiyainya mempunyai ilmu yang lebih luas ataupun mereka melaksanakan studi sendiri dengan alat yang sudah mereka miliki. Dalam kenyataannya ilmu yang ada dan berkembang di Pesantren kebanyakan berkisar pada aqidah, syari’ah dan bahasa Arab.
b. Masjid
Masjid ialah elemen yag tidak sanggup dipisahkan dengan Pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling sempurna untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang juma’at serta penpenghasilanan kitab-kitab Islam klasik . kedudukan Masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi Pesantren ialah manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Kesinambungan sistem pendidikan Islam berpusat pada Masjid semenjak Masjid Al-Quba didirikan erat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW. Tetap terpancar dalam sistem Pesantren.
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Masjid sudah menjadi pusat pendidikan Islam, berdasarkan keterangan Brill disebutkan bahwa: “di mana kaum muslimin berada, mereka selalu menggunakan Masjid sebagai tempat pertemuan , pusat pendidikan, acara administrsi dan kultural. Hal ini sudah berlangsung selama tiga belas abad”.[3]
Lebih lanjut dikatakan juga oleh N. Senider dalam sebuah tulisannya bahwa:
“Sampai sekarangpun di kawasan mana umat Islam belum begitu terpengruh oleh kehidupan barat, kita temukan para ulama yang dengan penuh dedikasi mengajar anakdidik-anakdidik di Masjid, serta memdiberi wetidakboleh dan tawaran untuk meneruskan tradisi yang terbentuk semenjak zaman permulaan Islam”.[4]
Seorang kiyai yang ingin menyebarkan sebuah Pesantren berdasarkan Zamak Saridhofir biasanya petama kali akan mendirikan Masjid di erat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang sudah menilai bahwa ia sudah sanggup memimpin sebuah Pesantren.
c. Santri
Santri berdasarkan pandangan Manfred Zimek ialah salah satu dari beberapa elemen tradisi Pesantren mempunyai peranan yang sangat penting dalam suatu forum Pesantren, alasannya yakni santri ialah salah satu kelompok ini yang tinggal dalam Pesantren sedangkan pengertian santri sebagimana dikatakan Geerts adalah:
“Sebuah kata yang diturunkan dari bahasa sangsakerta ”sastri” (ilmuan Hindu yang terpelajar menulis) yang pada pemakaian bahasa modern mempunyai arti yakni: arti yang sempit adalah: seorang pelajar sekolah agama yang disebut Pondok atau Pesantren,……..dalam arti yang luas dan lebih umum data santri mengacu pada seorang anggota penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh yang sembahyang, pergi ke Mesjid pada hari Jum’at dan lain-lain. [5]
Istilah santri bergotong-royong mempunyai dua konotasi atau pengertian. Pertama yakni mereka yang taat menjalankan perintah agama Islam. Dalam artian, mereka yang disebut sebagai kelompok “abangan” yang dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Jawa pra-Islam khususnya yang berasal dari mistisme Hindu dan Budha. Kedua, santri yakni mereka yang tengah menuntut pendidikan di Pesantren. Keduanya tidak sama walaupun sama-sama menuntut ilmu agama Islam.[6]
Selanjutnya, istilah santri juga menunjuk kelompok penuntut ilmu yang bisa dibedakan dengan kalangan mereka yang disebut anakdidik madrasah atau siswa sekolah. Walau mereka sama-sama hidup dalam lingkungan pendidikan Islam. Perbedaannya terletak pada segi rata-rata usia mereka, dimana madrasah maupun sekolah masih menyeleksi umur yang sudah ditentukan untuk masuk ke forum tersebut. Lain halnya dengan Pesantren tidak ada tuntutan bagi mereka yang ingin berguru di Pesantren, kecuali bagi Pesantren yang dikategorikan sebagai modern. Begitu juga halnya dalam kehidupan sehari-hari, dan lingkungan berguru pada umumnya.
Seorang santri pergi dan menetap di suatu Pesantren lantaran beberapa alasan: (1) Ingin mempelajari kitab-kitab yang mengulas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kiyai, (2) ingin memperoleh pengalaman kehidupan Pesantren, baik dalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun relasi dengan Pesantren yang terkenal, (3) ingin memusatkan studinya di Pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di keluarganya.
Pergi dan menetap di sebuah Pesantren yang jauh ialah suatu pujian bagi seorang santri. Ia harus mempunyai keberanian yang cukup dan penuh ambisi, sanggup menekan perasaan rindu kepada keluarganya dan kawan-kawannya sekampungnya, alasannya yakni sehabis menuntaskan studinya di Pesantren diharapkan menjadi seorang yang sanggup mengajarkan kitab-kitab agama Islam dan memimpin masyarakat dalam kegiatan keagamaan. Ia diharapkan juga sanggup memdiberi nasehat-nasehat terkena persoalan-persoalan kehidupan individual dan masyarakat yang bersangkut erat dengan agama.
d. Pondok
Dalam bahasa Arabnya Pondok lebih dikenal sebagai “funduq” yang artinya tempat tinggal, asrama, wisma, hotel yang sederhana. sepertiyang yang dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofir adalah:
“Pondok yakni asrama bagi para santri, asrama atau tempat tinggal ini ialah ciri khas dari asrama pendidikan Islam Tradisional dan sekaligus ialah tradisi Pesantren, dimana para santrinya yang tinggal didalamnya dan berguru dibawah bimbingan seorang atau beberapa ustadz atau kiyai. Pondok tersebut berada dalam komplek Pesantren dimana seorang kiyai bertempat tinggal, diberibadah, dan sentral miliun, ruang berguru dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.[7]
Keadaan kamar-kamar Pondok biasanya sangat sederhana, mereka pulas diatas lantai tanpa kasur spesialuntuk beralaskan tikar. Papan-papan dipasang pada dinding untuk menyimpan koper dan barang-barang lainnya. Akan tetapi ada juga Pondok yang memperbolehkan santrinya untuk membawa kasur maupun bantal, atau Pondok menyediakan dipan sebagai tempat pulas, ini terjadi pada sebagian Pondok yang sudah maju. Tidak dibedakan dari mana santri berasal baik yang kaya maupun yang kurang bisa tiruananya mendapatkan fasilitas yang sama dari Pondok. Para santri tidak diperbolehkan tinggal di luar komplek Pondok, kecuali bagi mereka yang erat rumahnya dengan Pondok, tetapi ada juga kebijakan dari Pondok bahwa santri harus tinggal di Pondok tiruana. Alasannya kenapa santri harus tinggal di asrama, supaya kiyai maupun pengawas Pondok sanggup mengawasi dan menguasai secara mutlak. Hal ini sangat diharapkan lantaran kiyai tidak spesialuntuk sebagai seorang guru, tetapi juga pengganti orang renta para santri, yang bertanggung balasan untuk membina dan memperbaiki tingkah laris dan moral para santri.
Sistem Pondok bukan saja ialah elemen yang paling penting dalam tradisi Pesantren, tapi juga penopang utama bagi Pesantren untuk sanggup terus berkembang. Meskipun keadaan Pondok sangat sederhana dan penuh sesak, namun belum dewasa muda yang berasal dari desanya hadir untuk berguru tidak mengalami kesusahan dalam tempat tinggal atau pembiasaan diri dengan lingkungan sosial yang baru.
Sedangkan tradisi Pondok tempat tinggal yang dipergunakan santri perempuan biasanya dipisahkan dari Pondok tempat santri pria oleh rumah kiyai dan keluarganya. Keadaan kamar-kamarnya tidak jauh tidak sama dengan Pondok laki-laki, spesialuntuk saja lebih tertutup.
e. Pengajaran Kitab-Kitab Islam Klasik
Pengajaran kitab-kitab Islam klasik dalam Pondok Pesantren baik itu salaf maupun modern selalu didiberikan, suatu alasan yang dikemukakan oleh Masdar FM. Mengapa kitab-kitab Islam klasik selalu dan tetap diajarkan di Pondok Pesantren adalah:
“Kalangan masyarakat masih kukuh meyakini bahwa pedoman yang terkandung dalam kitab-kitab ini masih tetap ialah pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran-ajaran itu diyakini bersumber kepada kitab Allah dan sunah Rasul-nya, dan tidak ketinggalan unsur pemanis yakni piwulang-piwulang leluhur dari ulama-ulama salaf yang saleh. Relevan artinya bahwa ajaran-ajaran kitab ini masih tetap cocok dan mempunyai kegunaan untuk meraih kehidupan kini, maupun nanti”.[8]
Selain itu tujuan didiberikan pengajaran kitab-kitab Islam klasik ini yakni sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama Pesantren yakni: “…………mendidik calon-calon ulama, yang setia pada paham Islam tradisional.”[9]
Kitab-kitab Islam klasik ini di lingkungan Pesantren lebih terkenal dengan istilah kitab-kitab kuning, alasannya yakni pada umumnya kitab-kitab itu ditulis atau dicetak diatas kertas yang berwara kuning dengan menggunakan abjad Arab dalam bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura, dan lain-lain. Huruf-hurufnya tidak didiberi tanda baca vokal (harakat/sakal) oleh alasannya yakni itu kitab-kitab ini tidak praktis dibaca oleh tiruana orang yang tidak mengetahui ilmu Nahwu dan Sharaf, oleh karen itu sering disebut juga dengan istilah kitab gundul. Adapun bentuk penyajiannya dalam kitab kuning pada umumnya terdiri dari dua komponen utama yakni matan dan syarah: matan ialah isi inti yang akan dikupas oleh syarah, sedangkan dalam layout-nya matan diletakkan diluar garis segi empat yang mengelilingi syarah. Ciri lain yang dikembangkan Rahardjo, dikutib dari Masdar FM. Menyebutkan bahwa: penjilitan kitab-kitab kuning biasanya berbentuk korasan (karasah: Arab), dimana lembaran-lembarannya sanggup dipisah-pisahkan sehingga lebih praktis membaca, untuk menelaahnya sambil santai atau pulasan, tanpa harus membawa tiruana kitab, yang kadang kala mencapai ratusan lembar. Dan tujuan utama pengajaran ini yakni untuk mendidik calon-calon ulama. Dalam struktur pendidikan Islam tradisional di Jawa, pengajaran pembacaan Al-Qur’an didiberikan dalam penpenghasilanan Pondok Pesantren dan ialah dasar dari pendidikan pertama. Kebanyakan Pesantren, kini secara formal Al-Qur’an memilih syarat para calon santri yang harus sudah mengusai pembacaan Al-Qur’an sebelum mempelajari kitab-kitab kuning.
Keseluruhan kitab klasik yang diajarkan di Pesantren berdasarkan Dhofir, sanggup digolongkan menjadi delapan kelompok, yakni Nahwu dan Shorrof, Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqh, Hadits,Tauhid, Tasawuf dan Etika, serta cabang-cabang lain ibarat Tarikh (sejarah) dan Balaghoh. Kitab-kitab tersebut mencakup teks yang sangat pendek hingga teks yang terdiri dari berjilid-jilid, ketiruananya ini sanggup digolongkan kedalam tiga kelompok yakni: (1) Kitab-kitab dasar, (2) Kitab-kitab tingkat menengah, dan (3) kitab-kitab besar.[10]
Sedangkan cakupan pedoman kitab kuning ini dikatakan Rahardjo dari Masdar F. Mas’udi secara keseluruhan mencakup banyak sekali aspek yang sangat luas baik yang mencakup beberapa aspek keyakinan terhadap hal-hal yang bersifat metafisik, maupun yang berupa pandangan dan tata nilai kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat yang ketiruananya itu diharapkan bermuara pada suatu titik tujuan yakni terbentuknya suatu kualitas insan yang berakhlak mulia (insan kamil) baik terhadap Tuhan, diri sendiri maupun terhadap sesama lingkungannya.
Dari ketiruana jenis dan bentuk kitab kuning yang ada, tidak tiruananya diajarkan kepada santri Pondok Pesantren tergantung dari kebijaksanaan kiyai, sehingga tiruana apa yang ada di dalam Pondok Pesantren tidak mempunyai dan mengikuti tumpuan dan jenis tertentu, untuk itulah maka setiap santri mempunyai jenis kitab yang diajarkan tidak sama-beda antara satu Pesantren dengan Pesantren yang lain.
Perlu ditekankan disini, bahwa sistem pendidikan Pesantren tradisional sangat statis dengan mengikuti sistem sorogan dan bandongan dalam menterjemahkan kitab-kitab klasik kedalam bahasa Madura. Para kiyai sebagai pembaca dan penerjemah kitab tersebut, bukan sekedar membaca teks, tetapi juga mempersembahkan interpretasi pribadi, baik terkena isi materi dari teks. melaluiataubersamaini kata lain, para kiyai mempersembahkan komentar atas teks berdasarkan pandangan pribadinya. Oleh lantaran itu harus menguasai tata bahasa Arab, literatur dan cabang-cabang ilmu agama Islam lainnya. Tetapi Pondok Pesantren yang dikategorikan modern dalam menterjemah kiyai maupun asatidz menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Arab lantaran tidak tiruana santri yang ada di Pondok tidak satu kawasan tetapi mereka berhadiran dari penjuru Nusantara, bahkan juga ada yang dari luar negeri.
0 komentar
Posting Komentar