Rabu, 13 Februari 2019

Sejarah Pendidikan Wanita Paling Lengkap

Sejarah Pendidikan Perempuan Paling Lengkap

Keberadaan pendidikan bersama hadirnya insan di muka bumi. Keduanya tidak sanggup dilepaskan satu dengan yang lain, melainkan saling melengkapi. Pendidikan ialah proses humanisasi atau pemanusiaan manusia. Suatu pandangan mengimplementasikan proses kependidikan dengan berorentasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik, biologis maupun ruhaniah-psikologis. Proses pendewasaan dan penyadaran dalam konteks pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, lantaran bersentuhan dengan aspek paling dalam dari kehidupan manusia, yaitu kejiwaan dan keruhanian, sebagai dua elemen yang berpotensi positif bagi pembangunan kehidupan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Sebuah pendidikan tidak dikatakan berfungsi secara terbaik, kalau insan sebagai pelaku tidak ada di dalamnya. Artinya, insan tidak bisa hidup dan berkembang secara tepat tanpa adanya pendidikan. Halaman itu, Ki Hajar Dewantara yang mempunyai gagasan yang cerdas pada zamannya, tetapi juga tetap faktual di zaman sekarang. Menekankan praktik pendidikan yang mengusung kompetensi atau kodrat alam anak didik, bukan dengan “perintah paksaan” tetapi dengan tuntunan, sehingga menggugah perkembangan kehidupan anak didik baik lahir batin, cara mendidik ibarat ini dikenal dengan pendekatan among. Ada dua halaman yang mendasari adanya pendekatan tersebut. Pertama, kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan mengarahkan kekuatan lahir maupun batin, hingga sanggup hidup merdeka. Kedua, kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Semua itu biar masyarakat mencapai kebahagiaan dan keselamatan yang setinggi-tingginya pendidikan bertujuan untuk mendapatkan kesempurnaan hidup dan kebahagiaan lahir batin baik secara perorangan maupun sebagai anggota masyarakat.
Oleh lantaran itu tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa pendidikan ialah taktik budaya yang sangat berpengaruh untuk mempertahankan nilai-nilai budaya, nilai-nilai agama yang mereka yakini. Dalam konteks ini, fungsi pendidikan berupaya menyesuaikan (mengahrmonisasikan) kebudayaan usang dengan kebudayaan gres yang lebih profesional dan dinamis. Akan tetapi praktik pendidikan pada kenyataannya sudah melaksanakan dehumanisasi yang mengakibatkan ketidakadilan gender (gender inquality).
Islam sangat menganjurkan pendidikan perempuan baik dalam bidang agama ataupun sosial. Pendidikan dan petes budaya, mereka pandang sebuah dimensi integral pembangunan kemasyarakatan. Tidak ada prioritas bagi laki-laki terhadap perempuan dalam hubungannya dengan hak pendidikan. Keduanya secara sama dianjurkan untuk memperoleh pendidikan. sepertiyang pedoman Islam mencari ilmu mulai dari “ayunan hingga liang lahat”. Sungguh tiruana ayat Al-Qur’an yang berafiliasi dengan pendidikan dan yang mengajarkan untuk memperoleh ilmu secara sama ditujukan kepada laki-laki dan wanita. Sesuai dengan tiruana yang mencakup beberapa aspek konsep tauhid-keesaan-ketika Islam meninggalkan perempuan secara fisik dengan menghapus pembunuhan bagi perempuan, tidak bisa diabaikan perlunya peninggian mental dan spiritual mereka. Tidak satupun ayat Al-Qur’an maupun sabda Nabi yang melarang atau menghalamanang-halamanangi perempuan untuk mencari ilmu dan mendapatkan pendidikan. Nabi ialah aktivis dalam halaman ini, Beliau menyatakan bahwa mencari ilmu ialah wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan. melaluiataubersamaini demikian Nabi membuka tiruana peluang ilmu secara sama laki-laki dan perempuan.
Islam menganjurkan perempuan untuk membuatkan seluruh aspek kepribadiannya, diyakini bahwa seorang perempuan muslim yang berpendidikan seharusnya tidak spesialuntuk memancarkan kualitas moralnya di lingkungan keluarganya, tetapi ia juga harus mempunyai kiprah aktif dalam lapangan perkembangan sosial, ekonomi dan politik yang luas. Al-qur’an secara khusus (9: 71-71) memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menjalankan shalamanat, membayar zakat kepada yang miskin dan memerintahkan kebaikan serta melarang kejahatan dalam segala bentuk: sosial, ekonomi, dan politik. Halaman ini berarti keduanya mempunyai kewajiban yang sama untuk melaksanakan tugas-tugas ini. untuk melaksanakan demikian ini, mereka harus mempunyai jalan yang sama terhadap pendidikan. Karena bagaimanapun seorang perempuan sanggup memegang kebijakan sosial dan ekonomi atau tidak sanggup bertanggung jawaban, kalau secara intelektual ia tidak dilengkapi untuk kiprah ini. halaman ini pada masa Rasulullah, yang sanggup dijadikan barometer ibarat usaha perempuan Aisyah yang sebagai guru, dia mengajarkan ilmunya pada perempuan dan pria, al-Khansa (dalam kesusastraannya), Zainab (dengan ilmu kedokterannya), Nusaibah (dalam pelayanan meliter). Dan msih banyak lagi yang diperankan oleh wanita-wanita Islam pada dikala dalam banyak sekali sektor kehidupan baik yang berkaitan dengan publik dan lain sebagainya di masa Rasulullah.
Dari sejarah pendidikan perempuan di atas, hingga bagaimana pandangan Islam pada kepentingannya sebuah pendidikan diwaktu turunnya Al-Qur’an di jazirah Arab pada pertama Islam. Bagaimana dengan Indonesia sendiri terkena pendidikan perempuan dan ruang gerak perempuan dalam kehidupannya?

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, rakyat Indonesia dicekam oleh rasa ketakutan dari masyarakatnya dalam melaksanakan banyak sekali aktivitasnya, baik dalam banyak sekali halaman. Rakyat Indonesia untuk mengenyam sebuah pendidikan tidak mendapatkan peluang dan rakyat spesialuntuk dijadikan budak mereka dan para wanitanya dijadikan pemuas nafsu sang penjajah. Walaupun sebagian dari rakyat Indonesia yang mengenyam pendidikan spesialuntuk mereka kepingan yang tergolong dari keluarga konglomerat dan belum dewasa orang bau tanah yang andil dengan penjajah yang nantinya mereka sanggup bekerjasama di forum bersama penjajah.
      Perjuangan perempuan Indonesia semenjak periode sebelum kemerdekaan hingga kini nampak ibarat pasang surut. Di zaman usaha kemerdekaan, usaha perempuan Indonesia lebih nyata dan berani bersama kaum laki-laki dalam mendeklarasikan Sumpah Pemuda (Sebutan Pemuda-Pemudi) dilanjutkan dengan Kongres Perempuan I (22 Desember) dan seterusnya sehingga diputuskan sebagai hari Ibu Nasional.
            Membaca sejarah gerakan perempuan Indonesia dan membuat kita berdecak-decak bagaimana heroisme perempuan Indonesia pada masa kolonilaisme, menjelang proses kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Peran-peran mereka sangat signifikan, lantaran saja tidak spesialuntuk mempersoalkan masalah-masalah seputar nasib perempuan yang ditiruankan oleh kebijakan kolonial maupun fiodelisme yang masih sangat kental. Gerakan perempuan juga bicara soal politik-kekerasan, dan mempersembahkan respon terhadap situasi-situasi politik global. melaluiataubersamaini demikian info yang dikala ini seolah-olah terpisah, terbelah, sehingga harus ekstra keras mencari titik temunya, semangat anti kolonialisme dan imperialisme, memang sungguh tepat menjadi musuh bersama (Common Enemy) dalam membuatkan gerakan-gerakan perempuan.
            Penenggelaman gerakan perempuan hingga dasa warsa, sudah menjadi perempuan sesudahnya seolah-olah tidak mempunyai akar gerakan sama sekali. Sejarah perempuan Indonesia, spesialuntuklah sejarah perempuan yang dianggap mempunyai nasionalisme yang ikut berjuang dalam kemerdekaan. Seperti misalnya; RA. Kartini, Dewi Sartika, Malahayati ataupun Tjoet Nyak Dien. Akan tetapi bagaimana dengan perempuan-perempuan yang berjuang dalam pergerakan hak-hak perempuan yang sangat terabaikan, belum dewasa sekolah tak akan bisa membaca, apalagi memahaminya. Sejarah perempuan Indonesia biasanya paling sering menyandarkan diri pada tokoh Kartini.
            Suatu halaman yang urgen perlu kita cermati, pergerakan yang terkena hak perempuan yang sangat terabaikan yaitu dilema pendidikan yang menjadi bekal untuk keberlangsungan hidupnya. Sebelum kemerdekaan yang menjadi acara kita sebagai suri tauladan kiprah perempuan dalam pendidikan, kinerja Rahmah El Yunusiah di Propensi Sumatra Barat. Beliau aktivis berdirinya TKR dan Madrasah Diniyah Putri Padang Panjang Sumatra Barat pada tahun 1923 dengan 71 anakdidik yang kebanyakan ibu-ibu muda. Kemudian disusul pemberantasan buta karakter bagi ibu-ibu yang lebih tua. Pada tahun 1926 Madrasah binasa lantaran diguncang gempa, tahun 1932 memperkenalkan koedukasi dengan mendapatkan anakdidik putra walaupun kurang berhasil, hingga mendirikan Perguruan Tinggi yang disebut dengan Fakultas Dirasah Islamiyah, dan bercita-cita mendirikan rumah sakait perempuan. Dari teladan gerakan perempuan sebelum kemerdekaan sebagai donasi dalam menegakkan sebuah tatanan masyarakat yang serasi dan berdaulat, sanggup memdiberi kita donasi pada langkah usaha bangsa Indonesia pada masa selanjutnya.

b.      Pendidikan dan Gerakan Perempuan Indonesia Sesudah Kemerdekaan
Memasuki babak gres gerakan perempuan Indonesia, ketika pada tahun 1946, setelah kemerdekaan diperoleh bangsa ini. organisasi perempuan mulai tumbuh, baik sebagai organisasi yang gres maupun kebangkitan kembali yang sudah ada. Gerakan perempuan pasca kemerdekaan (masa Soekarno) ini, di samping tetap memperjuangkan agenda-agenda termasuk pasca pemberangusan di zaman Jepang, mereka terus memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan peluang kerja. Persoalan yang dihadapi ialah tindakan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, meski demikian, hak politik yang sama setidaknya secara legal sudah dijamin dalam pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945. kemudian lahir UU 80/1958. yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem pengpenghasilanan. Halaman ini terbukti pada kongres perempuan III, setelah melaksanakan pembubaran PPII (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia), mulai info dimunculkan tentang hak perempuan. Perempuan terus memperjuangkan hak politik atau keterwakilan perempuan, dengan memperjuangkan Maria Ulfa menjadi Volksraad, meskipun gagal. Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi Menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II (1946) dan SK Trimurti menjadi menteri perubahan pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948), pada pemilu 1955, gerakan perempuan Indonesia berhasil menempatkan perempuan sebagai anggota parlemen.
Negara Indonesia setelah kemerdekaan, walaupun mengalami keterbukaan, akan tetapi dampak dari penjajahan sangat diberimbas pada sosial politik pada selanjutnya. Perjuangan dan gagasan gerakan perempuan yang sedemikian berpengaruh dan berani pada akhirnya menjadai sepi. Kentalnya patriarkhi yang melingkupi para penulis sejarah Indonesia, menjadikan gerak perempuan dalam konteks pembentukan bangsa ke arah kemerdekaan tentu saja mencakup beberapa aspek gerakan politik yang sudah mereka lakukan, tersisihkan atau bahkan terhapuskan sama sekali. Kecuali catatan-catatan kiprah mereka dalam wilayah domistik, ibarat dapur umum untuk para gerilyawan. Disinilah lantas muncul arus besar dalam pendidikan sejarah di Indonesia tentang kiprah laki-laki dalam usaha nasional dan nasionalisme kemudian menjadi sungguh-sungguh semata-mata wacana laki-laki.
Meneropong realitas sosial Indonesia setelah kemerdekaan dan memseriuskan pandangan kita pada kehidupan perempuan, pasti yang akan kita temukan ialah sebuah keprihatinan, atas budaya yang dianut oleh masyarakat negara Indonesia yang memseriuskan terhadap kaum laki-laki sebagai tampuk kekuasaan dalam banyak sekali sektor, baik dalam keluarga, masyrakat maupun dalam pemerintahan. Kaum perempuan dianggap tidak bisa dan yang pantas bagi kaum perempuan tinggal di rumah mengasuh anak dan melayani suami (pekerjaan domistik).
Ada banyak data yang menggambarkan posisi lemah dan marginal kaum perempuan pada wilayah pendidikan yang ialah kebutuhan yang urgen untuk diperoleh oleh insan secara terbaik demi keberlangsungan hidupnya. Halaman ini terjadi ketimpangan peluang kaum perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Dapat diketahui dari data 1997 yang dilakukan penelitian oleh Puslitbang Kependudukan dan Ketenagakerjaan LIPI, bahwa dari setiap 100 perempuan terdapat 41 orang yang tidak tamat SD, 33 tamat SD, 13 tamat SLTP, 11 tamat SMU/SMK, 2 tamat Perguruan Tinggi.Angka ini terang mengatakan betapa perempuan memang kurang mempunyai peluang untuk mengakses dan menikmati pendidikan secara layak. Dan tentu saja, balasannya ialah mereka terpaksa mempunyai posisi sosial yang lemah. Sebab, rendahnya pendidikan seringkali berbanding lurus dengan semakin banyaknya keterbatasan.
Dari data yang dilakukan oleh Puslitbang Kependudukan dan Ketatguagaraan LIPI, sanggup diketahui bahwa kaum perempuan termarginalkan jawaban dari kemampuan pendidikan yang kurang dan anggapan kaum perempuan tidak bisa untuk mengemban tanggung jawaban dalam politik. Dalam wilayah politik, kita akan menemukan data yang mengindikasikan betapa timpangnya posisi sosial perempuan. Rasio perempuan dan laki-laki di forum tertinggi dan tinggi negara di masa Orde Baru misalnya, sangatlah tidak sebanding. Dari 8 anggota MPR, spesialuntuk terdapat 1 perempuan. Dari 8 anggota DPR, juga spesialuntuk terdapat 1 perempuan. Di DPA, dari 24 orang anggota hany terdapat 1 orang perempuan. Demikian pula di lingkungan Mahkamah Agung dari 9 anggota spesialuntuk ada 1 orang perempuan.
Pada pasca kemerdekaan bangsa Indonesia bukan mempersembahkan ruang gerak yang lebih luas untuk kaum perempuan, walupun ialah sebagian dari mereka bisa memerankan dirinya dalam publik akan tetapi bukan ialah suatu kesejahteraan yang mereka dapati, melainkan menambah beban yang bertambah. melaluiataubersamaini bertambahnya beban kerja yang harus mereka kerjakan baik sosial dalam publik dan keluarga, yang sementara anggapan pekerjaan domistik yang pantas ialah kaum perempuan untuk mengerjakan, sementara suami spesialuntuk untuk menunggu kaum ibu menyiapkan dari banyak sekali perlengkapan untuk keluarga. Mulai dari harus bangun pagi menyiapkan makan keluarga dan memandikan anak-anaknya dan sementara pagi-pagi mereka harus juga berkemas-kemas untuk mempersiapkan diri masuk kantor. Halaman ini yang masih banyak dialami oleh kaum perempuan di negara kita, dalam artian bahwa keadaan perempuan pada pasca kemerdekaan mengarahkan kita pada kesimpualan bahwa keadaan perempuan Indonesia memprihatinkan.

c.       Pendidikan dan Gerakan Perempuan Indonesia Era Masa Kini
Budaya kita memang sudah membatasi pendidikan antara laki-laki dan perempuan, halaman inilah yang membentuk pola pikir perempuan Indonesia menjadi ndeso jawaban paham “seklusi”. Dalam masa reformasi peluang pendidikan perempuan sudah tidak dibatasi lagi, artinya hak untuk berguru setinggi-tingginya bagi perempuan sudah terbuka selebar-lebarnya spesialuntuk saja lantaran efek budaya masa kemudian itulah, tidak sedikit perempuan yang merasa ketinggalan dari laki-laki. Ia jarang memakai peluang yang membentang di depan matanya, seolah ada penghalamanang yang tersirat menghadang langkahnya. Padahalaman, tanpa mereka sadari kiprah perempuan dalam kemajuan bangsa sangat signifikan, khususnya negara Indonesia yang beberapa tahun ini tertimpa penyakit krisis multi dimensi. Bangsa Indonesia membutuhkan perempuan yang bisa mengerti dan memahami kondisi bangsa ini, mengetahui wawasan dan pengetahuan.
Beruntunglah kita yang hidup dizaman keterbukaan ini, terbuka dalam tiruana bidang, bahkan tidak menutup kemungkinan bagi perempuan untuk go internasional. Tidak pelak kini ini banyak bermunculan para tokoh pemikir perempuan yang go internasional. Kesadaran untuk maju, berkembang dan sejajar dengan laki-laki dalam bidang intelektual sudah merebak dan meluas.
Proporsi penduduk perempuan Indonesia menurut hasil sensus 2000 mengatakan penurunan dari tahun 1990 yang biasanya di atas 50% menjadi 49,9% tetapi jumlah 102,8 juta jiwa lebih dibanding laki-laki 103,4. Maka perbedaan tersebut tidak signifikan untuk dipersoalkan, yang pasti bahwa apabila potensi itu sanggup diberdayakan maka akan ialah kekuatan yang sangat bermakna untuk menunjang kemajuan pembanguan keluarga, masyarakat dan bangsa. Dalam kenyataan, masih ditemukan ketimpangan dalam banyak sekali bidang sehingga perempuan belum sanggup menjadi kawan sejajar dan setara laki-laki. Beberapa contoh, sanggup diketahui; tingkat buta karakter perempuan usia 10 tahun keatas berkisar 2-3 kali lipat dibanding laki-laki, dari setiap 25 pejabat eselon I dan II di birokrasi pemerintah spesialuntuk 1 perempuan, secara umum dikuasai sekitar 54% guru SD ialah perempuan, tetapi yang menjadi kepala sekolah SD kurang dari 15%, lebih dari 57% pemilih dalam pemilu 1999 ialah perempuan, namun yang duduk di dewan perwakilan rakyat dan DPRD rata-rata kurang dari 9% bahkan di beberapa DPRD Kabupaten atau Kota ada yang tidak mempunyai wakil perempuan. Masih banyak pola lain yang terjadi dalam masyarakat kita.
Dalam masa reformasi bagaimana pemberdayaan perempuan biar bisa berperan aktif dalam pembangunan, yang aktualisasinya pada kebijakan pemerinatah, politik dan perubahan menuju kesetaran dan keadilan gender biar tidak terjadi sebuah ketimpangan. Konsekwensi logis untuk menghindari ketimpangan ini ialah dengan mempersembahkan pendidikan yang memadai kepada perempuan.
Jika kita yakin bahwa pendidikan perempuan sangat diperlukan, maka kita harus mengidentifikasikan bagaimana bentuk pendidikan yang tepat bagi mereka. Bentuk pendidikan apakah yang diidentikkan dengan pendidikan laki-laki ataukah perempuan mempunyai pendidikan dalam bentuk khusus? Mungkinkan mendidik perempuan meskipun ia berada dalam seklusi ataukah seklusi tersebut dihapus terlebih lampau? Apakah pendidikan perempuan terserius pada ilmu pengetahuan barat atau pada prinsip-prinsip tradisional peradaban Islam? Dalam menjaga kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan yang harus dibekali terhadap kaum perempuan biar tidak terjadi diskriminasi ialah pendidikan yang meliputi; pendidikan fisik (perempuan ibarat laki-laki) membutuhkan kesehatan yang baik. Pendidikan moral halaman ini penting lantaran alam menentukan perempuan untuk menjadi pelindung standard moral manusia. Pendidikan intelektual, yaitu studi tentang ilmu dan seni. Pendidikan untuk mempersiapkan makan dan menjalankan rumah tangga. Melukis dan menggambar yang sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan pendidikan musik. INI salah bentuk pendidikan yang diharapkan sanggup dimiliki perempuan yang tepat dan akan memberdayakan perempuan untuk memikul responsibilitas yang ia tanggung. Pendidikan juga akan menyiapkannya untuk bisa menupang diri umat manusia, mengatakan kecakapan seorang isteri yang sanggup diperoleh dengan cara yang sangat senang dan mengembirakan dan seorang ibu yang kompeten untuk mendidik anak-anaknya.
Aileen M. Stewart, spesialis dalam pemberdayaan perempuan dan mansyarakat, beropini bahwa minimal ada kondisi yang diharapkan oleh seorang perempuan; pemdiberian keahlian dan pembekalan keterampilan atau kopetensi tertentu (expert power), pemdiberian kiprah dan peluang (role power), pemdiberian akomodasi dan kegampangan untuk mewujudkan kemampuan (resource power).
Pendapat Stewart di atas, sejalan dengan arah peneliti dari PSPK (Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan ) yang mengusulkan untuk pemberdayaan perempuan diperlukan; pertama, perubahan cara berpikir lebih kritis tentang alasannya ialah akibat, kedua,  pemdiberian peluang yang lebih luas bagi partisipasi laki-laki dan perempuan, ketiga, inovasi konsep diri untuk meningkatkan percaya diri perempuan, keempat, pemdiberian peluang lebih banyak dalam proses pengambilan keputusan, kelima, perluas ruang gerak dan peluang bagi partisipasi perempuan dan keenam¸ perubahan tata nilai dan struktur kelembagaan dalam kehidupan keluarga dan sosial masyarakat.
Tingginya pendidikan perempuan di masa reformasi ini yang nantinya juga diberimbas pada karier perempuan, yang berkorelasi dengan penghasilan yang tidak kalah dengan laki-laki. Sehingga sanggup meningkatkan dan menyelamatkan buged keluarga, yang menjadikan makhluk lemah ini lebih kuat. Perempuan tidak mau lagi dimaki-maki, digebuki, ditampari, apalagi disakiti hatinya lantaran penyelewengan. Ia lebih suka menentukan berpisah dengan suaminya daripada menderita, alasannya ialah ia bisa membiayai dirinya sendiri dan anak-anaknya. Lela Ch. Budiman berpendapat; kemajuan pendidikan perempuan sudah membuka tabir gres yang diberimbas pada posisi-posisi jabatan strategis. Perempuan tidak spesialuntuk menempati posisi sekretaris, tetapi juga menjadi bos, direktur, pimpinan perusahaan, tidak spesialuntuk juru rawat tapi juga dokter bahkan spesialis.
Atas dasar kemajuan pendidikan dan pengetahuan perempuan, juga menjadikan perempuan lebih berani dalam menuntut hak-haknya. Hak untuk mendapatkan keamanan, hak untuk menentukan pilihan, hak untuk mendapatkan kemerdekaan dan seterusnya. melaluiataubersamaini terpenuhinya hak sebagai masyarakat negara dan menjalankan kewajiban yang harus dilakukan, maka terciptalah suatu bangsa yang berdaulat adil dan makmur (baldatun toyyibatun wa robbun wafur)

0 komentar

Posting Komentar