Kamis, 21 Februari 2019

Persoalan-Persoalan Metafisika Yang Berlawanan Dengan Islam


PERSOALAN-PERSOALAN METAFISIKA YANG BERLAWANAN DENGAN ISLAM


Menurut Al-Ghazali ada tiga fikiran filsafat metafisika yang sangat berlawanan dengan Islam, dan yang oleh karenanya para filosuf-filosuf harus ditetapkan sebagai orang atheis ialah:
1.       Qadimnya alam
2.       Tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal peristiwa-peristiwa kecil, dan
3.       Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani
Alasan-alasan 3 soal tersebut,beserta bantahannya dari Al-Ghazali,kami sebutkan di bawah ini :

Qadimnya alam

Filosuf-filosuf mengatakan,bahwa alam ini qadim. Qadimnya Tuhan atas alam sama dengan qadimnya Illat atas ma'lulnya (sebab atas akibat),yaitu dari segi zat tingkatan, bukan dari segi zaman. Berikut ini kami sebutkan alasan-alasan mereka, diberikut juga bantahan-bantahan dari Al-Ghazali.

Alasan Pertama

Tidak mungkin wujud yang baru,yaitu alam, keluar dari qadim (Tuhan), lantaran dengan demikian berarti kita sanggup membayangkan bahwa yang Qadim tersebut sudah ada, sedangkan alam belum lagi ada.
Tentang mengapa alam ini belum wujud,maka hal ini disebutkan pada waktu itu hal-hal yang mengakibatkan wujudny belum lagi ada. Makara pada waktu tersebut alam ini gres ialah suatu kemungkinan murni (artinya sanggup wujud dan sanggup tidak wujud).
Sesudah waktu tersebut hadir, maka alam ini menjadi wujud, dan wujud ini disebabkan lantaran faktor-faktor yang mengakibatkan wujudnya. Tetapi timbul pertanyaan, mengapa faktor-faktor tersebut gres timbul pada waktu itu, dan tidak timbul sebelumnya. Kalau dikatakan bahwa Tuhan mula-mula tidak berkuasa mengadakan alam,kemudian menjadi berkuasa untuk mengadakannya,maka timbul pula pertanyaan,mengapa kekuasaan itu gres timbul pada masa tersebut, bukan pada masa sebelumnya.
Atau jika dikatakan, Tuhan sebelumnya tidak memiliki tujuan (maksud) bagi wujudnya alam, kemudian maksud ini timbul, maka pertanyaan yang muncul juga sama, yaitu mengapa tujuan itu timbul.

Jawaban Al-Ghazali

Apa keberatannya jika dikatakan bahwa iradat (kehendak Tuhan) yang qadim menghendaki wujud alam pada waktu diwujudkannya.
Boleh jadi timbul pertanyaan, jika yang dimaksud dengan iradat yang qadim itu menyerupai niatan kita untuk mengadakan sesuatu perbuatan, maka perbuatan tersebut tidak mungkin terlambat, kecuali lantaran ada halangan.
Sedangkan bagi Tuhan sebagai zat yang mengadakan perbuatan, sudah lengkap syarat-syaratnya dan tidak ada hal-hal yang perlu ditunggu lagi,  tetapi perbuatannya terlambat juga.
Jawab Al-Ghazali ialah bahwa perkataan tersebut tidak lebih besar lengan berkuasa dari pada perkataan mereka yang mempercayai kebaharuan alam lantaran kehendak yang qadim.
Timbul pula pertanyaan lain yaitu, bahwa nilai tiruana waktu dalam pertaliannya dengan kehendak ialah sama, tetapi mengapa satu waktu dipilih untuk mewujudkan alam, dan waktu yang sebelumnya atau sesudahnya tidak dipilih?
Jawab Al-Ghazali, ialah bahwa arti kehendak (iradat) ialah memungkinkan  untuk membedakan sesuatu dari lainnya. Kehendak Tuhan ialah mutlak, artinya sanggup menentukan suatu waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya,  karena lantaran tersebut ialah kehendak-Nya itu sendiri. Kalau masih ditanyakan sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas, tidak lagi bebas, sedangkan kehendak itu bersifat bebas mutlak.

Alasan kedua


Tuhan lebih lampau dari pada alam,bukan dari segi zaman, melainkan dari segi eksklusif (tingkatan ,zat) menyerupai terlebih lampaunya bilangan satu atas dua ;atau dari segi causalitas, menyerupai lampaunya gerakan seseorang atas gerakan bayangannya, sedang kedua gerakan tersebut bekerjsama sama-sama mulai atau sama-sama berhentinya, artinya dari segi zaman.
Kalau yang dimaksud dengan terlebih dagulunya Tuhan atau alam ini ialah dari segi zaman, maka kelanjutannya ialah:
- Tuhan dan alam baharu kedua-duanya, atau
- Tuhan dan alam qadim kedua-duanya, dan tidak mungkin salah satunya qadim, sedang yang        lain baru.

Kalau yang dikehendaki dengan perkataan “Tuhan lebih lampau daripada alam dan zaman”, dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya, sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman, dimana ‘adam (tidak ada) murni terdapat didalamnya, sebagai hal yang menlampaui wujud alam. Makara Tuhan sudah menlampaui alam dengan suatu masa yang terbatas pada ujungnya yang satu, yaitu dengan adanya alam, tetapi tidak terbatas pada ujungnya yang lain, lantaran permulaan wujud Tuhan tidak ada batasnya.
melaluiataubersamaini perkataan lain, sebelum terdapat zaman dimana alam wujud, sudah terdapat zaman yang tidak ada ujungnya dan ini ialah suatu perlawanan, lantaran jika ada batas pada salah satu ujungnya, maka harus ada batas pula pada ujungnya yang lain, begitupun sebaliknya.
Karena alasan-alasan terseebut di atas, maka tidak mungkin untuk menyampaikan baharunya alam
.
Jawaban Al-Ghazali

melaluiataubersamaini perkataan “Tuhan lebih doloe adanya daripada alam dan zaman”, ialah bahwa Tuhan sudah ada sendirian, sedang alam belum lagi ada, kemudian Tuhan ada bahu-membahu alam. Dalam keadaan pertama, kita membayangkan adanya Zat yang sendirian, yaitu Zat Tuhan, dan dalam keadaan kedua, kita membayangkan dua Zat, yaitu Zat Tuhan dan zat alam. Kita tidak perlu membayangkan ada zat (wujud) yang ketiga, yaitu zaman, apalagi jika diingat bahwa apa yang dimaksud dengan zaman ialah gerakan benda (alam), yang berarti bahwa sebelum ada benda (alam), sudah barang tentu belum ada zaman.

Alasan Ketiga  

Tiap-tiap yang baru, sebelum terjadinya, tidak lepas dari 3 sifat :
- mungkin (bisa) wujud,
- tidak mungkin sanggup wujud, dan
- wajib (mesti) wujudnya.

Sifat yang kedua tidak sanggup dibenarkan, lantaran yang tidak mungkin wujud tidak akan terdapat selamanya, lantaran alam ini sudah menjadi wujud yang nyata. Sifat yang ketiga juga tidak sanggup dibenarkan, lantaran yang wajib wujudnya, tidak akan lenyap, sedang alam ini dan peristiwa-peristiwa yang terjadi didalamnya asalnya ada, kemudian tidak ada, dan sebaliknya. Makara kedua sifat tersebut di atas tidak mungkin terdapat pada alam, dan oleh lantaran itu satu-satunya sifat alam ialah bahwa alam itu mungkin wujudnya yang sudah terdapat pada alam sebelum wujudnya.
Akan tetapi “mungkin wujud” ialah suatu sifat yang tidak sanggup berdiri sendiri, melainkan membutuhkan kepada masalah yang lain, sebagai tempatnya. Yang lain ini, sebagai kawasan sifat tersebut, tidak lain adlah materi, sehingga kita sanggup menyampaikan “materi ini sanggup (mungkin) wujud” menyerupai kita menyampaikan “benda ini sanggup gerah atau sanggup dingin, sanggup putih atau sanggup hitam, sanggup bergerak atau sanggup diam”. Artinya terjadinya sifat-sifat tersebut dan terjadinya perubahan tersebut sanggup terjadi (mungkin) pada benda.

Jawaban Al-Ghazali


Sifat “mungkin” yang disebutkan di atas, ialah pekerjaan fikiran (proposisi pikiran). Sesuatu yang dikirakan oleh nalar sanggup wujud, dan asumsi ini tidak mustahil, maka sesuatu tersebut disebut “perkara yang mungkin”. Kalau asumsi itu mustahil, maka masalah tersebut dinamai “perkara yang mustahil”. Kalau tidak sanggup dikirakan tidak adanya, maka disebut “perkara yang wajib” (yang mesti selamanya ada). Ketiga-ketiga masalah tersebut ialah pekerjaan (proposisi) pikiran, yang tidak memerlukan suatu wujud tersendiri di luar pikiran, untuk sanggup disifati dengan sifat-sifat tersebut. Untuk menguatkan ini, Al-Ghazali mengemukakan 2 alasan :

1)      Kalau sifat-sifat mungkin memerlukan sesuatu wujud, untuk menjadi tempanya (disifatinya). Makia sifat “tidak mungkin wujud” juga memerlukan sesuatu perkara, untuk sanggup dikatakan bahwa “perkara ini tidak mungkin wujud”, sedang “perkara yang tidak mungkin wujud” tidak perlu ada wujudnya atau bendanya, yang ditempati sifat tersebut.
2)      Akal fikiran menetapkan wacana warna hitam dan putih sebelum wujudnya, bahwa kedua warna ini ialah mungkin (bisa terjadi). Kalau sifat “mungkin” ini dipertalikan kepada benda yang ditempati kedua warna tersebut, sehingga kita sanggup menyampaikan “benda ini sanggup diputihkan atau dihitamkan”, maka artinya putih atau hitam itu sendiri tidak mungkin dan tidak memiliki sifat mungkin, lantaran yang mungkin ialah bendanya dan sifat mungkin menjadi sifatnya.
Kalau demikian, maka kita akan bertanya : Bagaimana kedudukan warna putih atau hitam itu sendiri?
Apakah “mungkin” ataukah “wajib” (mesti wujud), ataukah “tidak mungkin”? Tentunya akan menjawaban ,bahwa warna tersebut ialah mungkin. Makara nalar fikiran, dikala menyampaikan sifat “mungkin”nya sesuatu tidak memerlukan suatu zat yang wujud yang sanggup ditempati sifat tersebut.
Jawaban Al-Ghazali tersebut mengingatkan kita kepada anutan “nominalisme” yang menyampaikan bahwa soal universalitas (abstrak) spesialuntuk terdapat didalam nalar fikiran, sedang diluar nalar fikiran tidak ada kenyataannya, sedang pendirian filosuf-filosuf yang diperihal Al-Ghazali mengingatkan kita kepada anutan “realisme”, yang menyampaikan bahwa apa yang terdapat dalam fikiran juga terdapat benar-benar di luar fikiran.

0 komentar

Posting Komentar