Rabu, 20 Februari 2019

Tinjauan Ihwal Konsep Masyarakat Madani (Civil Society)


A.    Tinjauan Tentang Konsep Masyarakat Madani (Civil Society)
Konsep ini berkembang di Indonesia semenjak tumbangnya pemerintahana Orde Baru, di mana penuh kediktatoran dan penindasan terhadap rakyat (civil). Sebut saja dengan kasus pengambilan tanah rakyat oleh para penguasa dengan dalih pembangunan, atau juga dengan pembungkaman kebebasan pers dan kebebasan bunyi rakyat dengan adanya pemberedelan beberapa media massa oleh penguasa, serta pembantaian para ulama (kiyai) dengan dalih dukun santet, dan berkeliarnya para Ninja pembunuh para pemimpin Pesantren yang terjadi pada tahun 1998 yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawaban. Ini sebagian kecil fenomena yang terjadi di negara kita, dari fenomena kehidupan yang tidak menghargai kebebasan berserikat dan berpendapat.

Kemungkinan adanya kekuatan civil sebagai bab dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan kepada sebuah wacana yang ketika ini sedang berkembang, yakni civil society. Wacana civil society ini ialah produk sejarah dan lahir di masyarakat Barat modern. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada ketika terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat modern. Dalam hal ini, civil society yang berkembang di Barat di prakarsai pertama kali oleh Adam Ferguson (1723-1816) dalam karya klasiknya An Essay on History of Civil Society (1767). Di indonesia sendiri di perkenalkan oleh Anwar Ibrahim menteri Malaysia dalam simposiumnya pada lembaga Istiqlal pada tanggal 26 September 1995. istilah tersebut dikaitkan dengan konsep kota peradaban, atau masyarakat perkotaan yang sudah tersentuh peradaban maju.[1] Kemudian ditumbuh kembangkan oleh Nurkholis Madjid dengan organisasinya Yayasan Paramadina.
Dalam hal ini sebagai sebuah wacana kontemporer, maka hingga ketika ini belum ada suatu komitmen rumusan teoritis dan konsep yang baku ihwal pengertian konsep civil society. Oleh alasannya yaitu itu dalam mengartikan civil society itu sendiri masih tergantung pada kondisi sosio-kultual suatu bangsa. Di Eropa sendiri pada pertengahan era XVIII, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state) yakni suatu kelompok kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakt lain. Tapi pada paruh era XVIII mengalami perubahan makna state dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang tidak sama, sejalan dengan sebuah pembentukan sosial (social formtion) dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa dan modernisasi dalam menghadapi problem duniawi.[2]
Dalam perspektif Islam masyarakat madani di identitaskan kepada kota Madinah, dimana kota yang pertama kali di tuju oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk hijrah dari Makkah ke kota Madinah, yang doloenya berjulukan Yastrib. Kemudian perubahan nama dari Yastrib ke Madinah dipahami oleh umat Islam sebagi sebuah manifesto konseptual terkena upaya Nabi untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani. Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakekatnya ialah sebuah pernyataan niat, sikap, proklamasi atau deklarasi, bahwa di daerah gres itu Nabi bersama para teman erat kaum Anshor dan Muhajirin hendak mendirikan dan membangun suatu masyarakat yang beradab. Oleh alasannya yaitu itu masyarakat madani diasosiasikan dengan “masyarakat beradab” atau “berperadaban”  dengan demikian masyarakat madani adalah: Masyarakat yang beradab (civilited) yang membangun kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar akarnya hak, atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum.[3]
Berangkat dari hal ini bahwa masyarakat madani ialah implementasi nilai-nilai demokrasi untuk membangun martabat manusia, yang tidak terlepas dari kemiskinan, ketercerabutan, kebuta hurufan, dan kejahilan. Munculnya masyarakat madani erat kaitannya dengan perjuangan reformasi di sektor dunia pendidikan terutama dunia Pesantren, guna mencerdaskan bangsa.
Sementara itu, di Indonesia terdapat dualisme pendidikan, yang pertama pendidikan Islam tradisional dan pendidikan modern. Pendidikan Islam tradisional diwakili oleh Pesantren yang bersifat konservatif dan hampir steril dari ilmu-ilmu modern yang diwariskan oleh para wali terlampau. Sedangkan pendidikan modern diwakili oleh lembaga pendidikan umum yang disebut sebagai warisan dari kolonial Belanda, serta madrasah-madrasah yang dalam perkembangannya sudah beraviliasi dengan sistem pendidikan.
Dari kedua lembaga pendidikan tersebut Pesantren yaitu lembaga pendidikan yang tumbuh dan lahir dari kultur Indonesia yang bersifat indegenous. Lemabaga inilah yang dilirik kembali sebagai model dasar pengembangan konsep pendidilkan (baru) Indonesia.

0 komentar

Posting Komentar